Senin, 05 Maret 2012

SIMBAH KYAI ARWANI

Kemarin hari Minggu tanggal 4 Maret 2012 mumpung hari libur dan waktu juga lagi gak ada acara, penulis ikut kegiatan Pengajian di Pondok Pesantren Sunan Giri Kalibening Salatiga dalam rangka Haul Syech Abdul Qodir Aljilani ke 873. Ponpes Sunan Giri Kalibening Salatiga ini diasuh oleh KH. Maslihudin Yazid. Dalam acara Haul ini sesion Mauidotul Hasanahnya di isi oleh KH. Ahmad Machin ( Alhafidz) yang ternyata adalah murid Simbah KH. Arwani, beliau dulu adalah bekas santri yang juga merangkap sebagai "tukang ngkladeni" segala keperluan Mbah Arwani. Dari mendengar ceramah beliau, akhirnya penulis jadi semakin penasaran tentang siapa sebenarnya Mbah Arwani. Akhirnya coba-coba googling cari informasi siapa itu Mbah Arwani. Berikut penulis tampilkan tentang siapa itu Mbah Arwani yang didapat dari berbagai sumber, semoga bermanfaat.


KH. M. ARWANI AMIN /MBAH ARWANI
Sosok Alim, Santun dan Lembut
Yanbu’ul Qur’an Adalah pondok huffadz terbesar yang ada di Kudus. Santrinya tak hanya dari kota Kudus. Tetapi dari berbagai kota di Nusantara. Bahkan, pernah ada beberapa santri yang datang dari luar negeri seperti Malaysia dan Brunei Darussalam.Pondok tersebut adalah pondok peninggalan KH. M. Arwani Amin. Salah satu Kyai Kudus yang sangat dihormati karena kealimannya, sifatnya yang santun dan lemah lembut.KH. M. Arwani Amin dilahirkan dari pasangan H. Amin Sa’id dan Hj. Wanifah pada Selasa Kliwon, 5 Rajab 1323 H., bertepatan dengan 5 September 1905 M di Desa Madureksan Kerjasan, sebelah selatan masjid Menara Kudus.Nama asli beliau sebenarnya Arwan. Tambahan “I” di belakang namanya menjadi “Arwani” itu baru dipergunakan sejak kepulangannya dari Haji yang pertama pada 1927. Sementara Amin bukanlah nama gelar yang berarti “orang yang bisa dipercaya”. Tetapi nama depan Ayahnya; Amin Sa’id.

KH. Arwani Amin adalah putera kedua dari 12 bersaudara. Saudara-saudara beliau secara berurutan adalah Muzainah, Arwani Amin, Farkhan, Sholikhah, H. Abdul Muqsith, Khafidz, Ahmad Da’in, Ahmad Malikh, I’anah, Ni’mah, Muflikhah dan Ulya.Dari sekian saudara Mbah Arwani (demikian panggilan akrab KH. M. Arwani Amin), yang dikenal sama-sama menekuni al-Qur’an adalah Farkhan dan Ahmad Da’in.Ahmad Da’in, adiknya Mbah Arwani ini bahkan terkenal jenius. Karena beliau sudah hafal al-Qur’an terlebih dahulu daripada Mbah Arwani. Yakni pada umur 9 tahun. Ia bahkan hafal Hadits Bukhori Muslim dan menguasai Bahasa Arab dan Inggris. Kecerdasan dan kejeniusan Da’in inilah yang menggugah Mbah Arwani dan adiknya Farkhan, terpacu lebih tekun belajar.Konon, menurut KH. Sya’roni Ahmadi, kelebihan Mbah Arwani dan saudara-saudaranya adalah berkat orangtuanya yang senang membaca al-Qur’an. Di mana orangtuanya selalu menghatamkan membaca al-Qur’an meski tidak hafal. Selain barokah orantuanya yang cinta kepada al-Qur’an, KH. Arwani Amin sendiri adalah sosok yang sangat haus akan ilmu. Ini dibuktikan dengan perjalanan panjang beliau berkelana ke berbagai daerah untuk mondok, berguru pada ulama-ulama. Tak kurang, 39 tahun beliau habiskan untuk berkelana mencari ilmu. Diantara pondok pesantren yang pernah disinggahinya menuntut ilmu adalaj pondok Jamsaren (Solo) yang diasuh oleh Kyai Idris, Pondok Tebu Ireng yang diasuh oleh KH. Hasyim Asy’ari dan Pondok Munawir (Krapak) yang diasuh oleh Kyai Munawir.Selama menjadi santri, Mbah Arwani selalu disenangi para Kyai dan teman-temannya karena kecerdasan dan kesopanannya. Bahkan, karena kesopanan dan kecerdasannya itu, KH. Hasyim Asy’ari sempat menawarinya akan dijadikan menantu. Namun, Mbah Arwani memohon izin kepada KH. Hasyim Asy’ari bermusyawarah dengan orang tuanya. Dan dengan sangat menyesal, orang tuanya tidak bisa menerima tawaran KH. Hasyim Asy’ari, karena kakek Mbah Arwani (KH. Haramain) pernah berpesan agar ayahnya berbesanan dengan orang di sekitar Kudus saja.Akhirnya, Mbah Arwani menikah dengan Ibu Nyai Naqiyul Khud pada 1935. Bu Naqi adalah puteri dari KH. Abdullah Sajad, yang sebenarnya masih ada hubungan keluarga dengan Mbah Arwani sendiri. Dari pernikahannya dengan Bu Naqi ini, Mbah Arwani diberi empat keturunan. Namun yang masih sampai sekarang tinggal dua, yaitu KH. M. Ulinnuha dan KH. M. Ulil Albab, yang meneruskan perjuangan Mbah Arwani mengasuh pondok Yanbu’ sampai sekarang. Yah, demikian besar jasa Mbah Arwani terhadap Ummat Islam di Indonesia terutama masyarakat Kudus, dengan kiprahnya mendirikan pondok yang namanya dikenal luas hingga sekarang.Banyak Kyai telah lahir dari pondok yang dirintisnya tersebut. KH. Sya’roni Ahmadi, KH. Hisyam, KH. Abdullah Salam (Kajen), KH. Muhammad Manshur, KH. Muharror Ali (Blora), KH. Najib Abdul Qodir (Jogja), KH. Nawawi (Bantul), KH. Marwan (Mranggen), KH. Ah. Hafidz (Mojokerto), KH. Abdullah Umar (Semarang), KH. Hasan Mangli (Magelang), adalah sedikit nama dari ribuan Kyai yang pernah belajar di pondok beliau. Kini, Mbah Arwani Amin telah tiada. Beliau meninggal dunia pada 1 Oktober 1994 M. bertepatan dengan 25 Rabi’ul Akhir 1415 H. Beliau meninggal dalam usia 92 tahun. Namun, meski beliau telah meninggal dunia, namanya tetap harum di hati sanubari masyarakat. Pondok Yanbu’ul Qur’an, Madrasah TBS, Kitab Faidlul Barakat dan berbagai kitab lain yang sempat ditashihnya, menjadi saksi perjuangan beliau dalam mengabdikan dirinya terhadap masyarakat, ilmu dan Islam.



Ada suatu kisah menarik tentang beliau, Kisahnya begini : 
Kala itu ada orang Jepara ada yang mengundang semaan Simbah Arwani itu, jarak antara Kudus dan Jepara 40 kilometer, kalau naik angkot [pada saat itu hanya seribu rupiyah]. 



Semaan itu sebuah perhelatan, dimana beliau membaca Al-Qur'an dengan hafalan seharian penuh dan di semak banyak orang, untuk hajatan tertentu. Sorenya, begitu beliau pamit pulang, si pengundang itu dengan ketawadlu'an menyerahkan amplop kepada Simbah Arwani [yang didampingi santrinya] dengan kalimat: meniko kangge transpot mBah [ini untuk beaya transportasi mBah]. Di mata beliau kalimat ini dipandang sebagai amanat itu, yang harus di sampaikan kepada sopirnya nanti--seluruhnya. Ternyata benar adanya, begitu sampai gang menuju Pesantren beliau [Yanbu'ul Qur'an], mobil berhenti lalu beliau menyerahkan "amanat' itu kepada kernetnya. Begitu sampai terminal Kudus, kernet itu bilang kepada sang sopir: ini aneh biasanya dibayar uang ribuan, ini diserahkan amplop. Segeralah sang sopir merobek amplop dan alangkah kagetnya bahwa amplop itu berisi uang ribuan sebanyak 200 lembar [sebulan gaji dia menyopir itu], saat itu tahun '60an.

Langsung sopir itu tancap gas menuju Pesantren yang masyhur itu, begitu sampai Pesantren disambut langsung orang yang terkenal ketawadlu'annya itu [bahkan beliau tak pernah mendongakkan kepala]. Dengan tawadlu' juga sopir matur [bilang]: mBah, menopo mboten klentu meniko arto sementen kathahe, kan namung setungal ewu, meniko dalem aturaken panjenengan malih [mBah Arwani, apa tidak salah ini, uang sedemikian banyak membayarnya, kan cuma seribu beayanya, maka aku sampaikan mBah kembali sisanya].

Tidak Nak--jawab mBah Arwani lembut, itu sudah rejekimu, ambillah semuanya Nak, aku ikhlas semoga menjadi rejeki yaqng berkah dalam hidupmu, ambillah Nak....

Kawan-kawan, sopir dan kernetnya berbalik dengan linangan airmata, sambil bergumam: masih ada manusia yang sebagus ini ya Robb. Setelah peristiwa ini, sopir dan kernet mendaftarkan diri sebagai jama'ah thoroqoh khalidiyahnya mBah Arwani, dengan meliburkan sehari untuk bersimpuh di pesantren beliau dalam seminggu, pada hari Jum'at itu. Begitu melihat wajah sedehana nan tawadhiu' itu, mereka menemukan kedamaian dan pengayoman hidupnya, mereka sepertinya punya ayah baru dalam hidupnya selain kedua orang tua dan mertuanya itu.

Begitu pamitan dalam setiap pengajian, mereka sempat berjabat tangan dengan tangan yang lembut itu, sedalam hatinya mereka berdua mencium tangan beliau, dan pasti dengan airmata menetes. Selalu beliau menyapa dengan lembut: sae Nak? [semua baik-naik saja, Nak?]. Mereka tak menjawab, hanya menganggukkan kepalanya, surut dengan langkah mundur sebagai sikap tak berani membelakangi wajah yang teduh itu. 

Dan ketika ada khabar bahwa sopir itu meninggal, mBah Arwani menyempatkan mensholati dia, yang diikuti oleh ribuan santri thariqahnya. Sekarang kernetnya yang masih hidup, dihatinya cemburu pada sopirnya itu, nanti kalau dia mati tentu tak seindah suasana kematian sopirnya, karena mBah Arwani telah tiada....